Dia seorang pria paruh baya yang sedang berjalan di pinggir jalan perkotaan dengan gelisah,tatapan kosong,seakan bertanya kemana hendak ku muntahkan semua langkahku di tengah kota yang penuh dengan enigma ini?
kulitnya kering seperti ranting-ranting pohon yang di tinggal daunnya,gigi dan matanya menguning,dengan lobe kumal di atas kepalanya.latar belakang pendidikannya hanya tergantung setengah tiang,memaksanya untuk tidak dapat membaca aksara.gelar satu-satunya adalah menjadi bapak dari dua anaknya.
Di tengah jalan dia terlihat oleh sanak saudaranya yang seketika memanggil “weno,mau kemana?”
dia tak mendengarnya,saudaranya tersebut memanggil ulang “weno geblek,kemana kau?”
bangkitlah kepala weno yang tunduk,mencari darimana asal suara itu.
menoreh ke seberang jalan dia melihat orang yang sudah di kenalnya itu “mau cari uang leh!” sembari menyebrang jalan mendekati si saleh.”cari uang kemana no’?”
“ya kemana lah,yang penting halal.” Dia menjawab.
“ikut bantu kawan aku aja,mau ndag?”
“kerjanya ngapain?” sahutnya.
“uda ayok,ikut aja nanti situ tau?”
“iya iya” jawab weno dengan mata yang berbinar penuh harap.
Sesampainya di tempat tujuan,ternyata ada teman saleh yang berjualan bakso keliling. Terlihat disana gerobak sorong terparkir dengan rapi seperti bus-bus di terminal. Saleh pun menjumpai toke disitu yang tak lain adalah teman yang di janjikannya dengan weno.
saleh ngobrol empat mata dengan toke tadi.
Tak berapa lama saleh kembali kepada weno.”no’ kerjaannya narik gerobak sambil jualan bakso itu keliling kampung? Kau mau ndag?”
“mau mau mau!” weno kegirangan.
Saleh kemudian memerintahkan weno menjumpai toke tadi untuk mendapatkan training pekerjaan barunya.
Keesokan harinya weno berangkat dari rumahnya jam 9 pagi,dengan dandanan yang sedikit rapi,tali pinggang tampak terlilit di atas jeans,kemeja yang kebesaran itu di gulung lengannya biar tak menghalangi gerak tangannya,hanya saja lobe keramatnya itu enggan di copotnya.
Weno berkeliling kampung yang berlabirin,berliku,dan ramai tentunya. Weno berjualannya dengan lancar di minggu-minggu pertama hingga tiba saatnya dia mendapati tiga orang pelanggan yang juga di kenal sebagai pengangguran kelas kakap di kampung itu.
Mereka melihat Weno yang kurus tak berdaya itu mempersiapkan bakso yang mereka pesan dengan berbagai rencana bagaimana pemuda tak berdaya ini bertemu dengan kesialan hari ini.
Karena sibuk menyiapkan bungkusan yang ada di lemari bawah gerobak,weno tak sadar salah satu dari pemuda itu membubuhi seserbuk ke dalam tong kuah bakso yang mendidih itu. Entah zat apa yang di masukkannya itu,pastinya itu bukan penyedap rasa yang biasa di gunakan.
Seusai melayani ketiga pelanggan itu weno bergegas pergi mencari pelanggan lain yang sudah menunggu kehadirannya yang di tandai dengan bunyi dentingan dari ketukan mangkuk yang berulang ulang.
Senja datang menjemput,bakso jajakan weno nyaris surut dan dengan kobaran semangat yang meluap-luap merindukan anak istrinya di rumah.
Tepat adzan maghrib,bakso weno sudah mencapai titik nol dan segera pulang dengan sedikit kertas kumal penyambung hidup.
Esok membangunkan tidurnya dengan perlahan,dia terbangun dan berbenah segera menuju terminal gerobak itu.
Seperti biasa dia berkeliling,sekumpulan warga sudah menunggunya di cakrukan pos kamling di kampung itu,salah satu dari warga itu memanggil weno dengan nada tinggi.
“Bakso,sini sini sampean!”
Weno menghampirinya dengan sedikit kecurigaan.
Setelah memarkirkan gerobaknya keluar lah semua warga yang berada dalam cakruk tadi dan semua menghempaskan pukulan maupun tendangan ke tubuh weno,berlagak seperti hakim di mahkamah agung atau anak muda di dalam film Ong Bak.sebahagian lagi menjungkir-balikkan gerobak bakso weno.
Weno tak sadarkan diri,dalam benaknya tersirat,ya Allah,apa salahku dengan orang-orang ini,kenapa mereka memperlakukanku seperti babi hutan yang masuk ke sawah mereka.
Kepala lingkungan di situ akhirnya datang dengan secuil kebijaksanaannya,”bawa dia ke puskesmas terdekat di kampung tetangga!” perintahnya kepada salah seorang warga.
Di balik itu semua seorang anak kecil dan beberapa orang dewasa teracuni sesaat setelah melahap habis bakso Weno.
Peristiwa ini sangat berhubungan dengan seserbuk yang dimasukkan salah satu dari pemuda pengangguran kelas kakap yang membeli baksonya semalam.
Weno yang berada di puskesmas berdandan luka memar di sekujur tubuhnya,lobe keramatnya tampak terselip di kantong bajunya.emak dan istrinya mungkin adalah orang-orang yang peduli terhadapnya dan jika dengan kerabat atau family lainnya weno dianggap sebagai manusia dengan separuh otak di kepalanya.
Kemiskinan dan kebodohannya membuatnya di pandang sebelah mata bahkan ada yang menyamarkan keberadaanya.
Setelah siuman weno langsung di di bawa pulang ke rumah,kebutaanya terhadap hukum membuatnya pasrah menerima hadiah dari warga itu.tak seorang pun dari LBH memusatkan perhatian kepadanya,karena sebahagian dari mereka hanya menilik kasus yang tersorot oleh media saja agar citra kemanusiaan mereka nampak bersinar namun bias.
Sesampainya di rumah dia juga tak mengerti kenapa mereka berbuat sedemikian keji terhadapnya dan bertanya kepada emaknya,”mak kenapa orang-orang itu mukuli aku?”
Sang emak pun menjelaskan kronologisnya,weno tampak kebingungan dan tak tau atau menaruh curiga terhadap pemuda pengangguran itu.
Toke baksonya memecat dia tanpa alasan dan juga tanpa santunan untuk pengobatannya.
Hari-hari setelah kejadian itu di habiskannya untuk duduk di rumah menemani anaknya yang masih balita,menatapnya penuh harapan agar nasib anaknya itu tidak sama dengan dirinya.
Istrinya bekerja menjadi PRT untuk mengambil alih tugasnya sebagai pencari nafkah.
Suatu hari istrinya membawa anaknya bekerja dan emaknya pergi ke sebuah pengajian. Weno sendiri menjaga rumah yang terbuat dari rajutan bambu,beratapkan pelepah dari dahan pohon kelapa. Di halaman depan rumahnya tampak anak-anak bermain dan memanjat pohon jambu yang merindangi rumahnya dari sengatan matahari.
“Eh bocah,jangan manjat-manjat,nanti jatoh!” teriaknya.
Si bocah tak menghiraukannya.weno pun menghampiri bocah itu.menuntunnya agar turun dari pohon.dan berbincang dengannya.
Entah mengapa weno mengajak bocah itu masuk ke dalam gubuk deritanya.sampai orang tua anak itu yang mencarinya.
Orang tua itu menanyakan kepada teman-teman yang bermain dengan anaknya tadi.
Temannya menunjuk rumah weno.dengan sigap orang tua itu masuk ke dalam rumah weno tanpa mengetuk pintu.di lihatnya anaknya sedang terbaring di samping weno.
Beribu pertanyaan terbesit dalam kepala orang tua itu.dia membangunkan keduanya dan tanpa banyak berkata-kata langsung menggeret weno ke balai desa yang tak jauh dari rumahnya.
Weno di tuduh berbuat cabul terhadap anak di bawah umur.Weno mengerang membantah tuduhan yang menyudutkannya itu,tetapi karena kurang cakapnya menjelaskan dia pun di serahkan kepada pihak yang berwajib.dia langsung di jebloskan ke dalam jeruji besi tanpa mengetahui prosedur penangkapan yang sebenarnya.
Di dalam sel,dia lagi-lagi mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari penghuni rutan yang seperti belantara hutan itu.
Pukulan-pukulan sudah seperti sapaan yang wajar baginya,sulut api rokok sudah menjadi penghangat tubuhnya,lantai tak beralas menjadi springbed terempuknya.
Daging yang membalut tulangnya menyusut dan kulit yang membalutinya sudah tampak mengerut.
Alam sadarnya seperti sudah berhenti bekerja dan meratap menunggu Yang Kuasa memanggilnya dengan segera.
Hari kamis tepat satu minggu dia menjalani masa penahanan,emaknya datang menjenguk membawakan beberapa keperluan dia selama disana.
Dia seperti menemukan oasis di tengah gurun pasir,berlari menjumpai wanita yang melahirkannya menuju ruang besuk.
Setelah bertatap muka,mereka berpelukan dengan sungai air mata yang mengalir seperti hendak menyampaikan doa yang tak terucap kepada lautan.
“mamak apa kabar? Mak aku ga berbuat seperti itu?”
Emaknya diam sejenak menatap mata sayu weno yang berkaca-kaca.
“tawakal anakku,mereka semua di butakan nafsu”sahut emak.
Emak juga mengeluarkan keperluan-keperluan yang seadanya tapi bagi weno rokok yang di bawa emaknya adalah barang yang sangat di tunggunya.
Weno bertanya “mak,anak ku mana? Istriku juga kok ga ikut mak?”
“istrimu minggat membawa anakmu,dia kecewa terhadapmu,dia termasuk ke dalam kubu yang menenggelamkan mu hidup-hidup.”
Weno memalingkan wajah dan tertunduk lesu.
“mak aku rindu sama anakku,sekali lagi mamak datang bawalah dia mak.” Di temani sunggingan senyum dari bibirnya.
“iya no’,nanti mamak bujuk istrimu biar luluh hatinya.”
“janji ya mak,aku rindu kali mak,rindu kali!” jawabnya lugu.
Beberapa saat pertemuan berakhir dia kembali ke orang-orang yang menjarah habis keperluan yang di bekali oleh emaknya tadi.
Di lain tempat emak yang sedang berusaha membujuk istrinya agar memberikan izin membawa anaknya kepada weno di tanggapi dingin oleh si istri.
“kenapa kau tak membiarkan anakmu pergi bersamaku?” keluh emak.
“dia bukan ayah yang baik untuk anakku,dia tak seharusnya menjadi ayah” jawab si istri.
“sedemikian hinakah kau menganggap suamimu,apa karena dia tak sanggup menafkahimu dan anakmu atau karena perbuatan yang belum tentu dia lakukan?”
“dia itu benalu hidup yang bercokol di dalam rumah tangga ini”
Emak spontan menangis mendengar anaknya di hina di depan orang yang seharusnya mendukung anaknya.
“tak ada yang lebih durhaka dari kau istri munafik!”
Emak langsung bergagas dari gubuk itu dengan kekecewaan yang mendalam.
Sementara weno yang tegar menjalani masa penahanannya tanpa ada seorang pun yang menangguhkannya menunggu kehadiran anaknya.
Beberapa hari kemudian emak datang dan menjelaskan kenapa dia tak berhasil membawa cucunya ke hadapan ayahnya.
Naluri binatang weno muncul dan marah kenapa istrinya tega berbuat seperti itu.
Si emak tak bisa berbuat apa-apa hanya kata sabar dan berdoa lah yang keluar dari mulut emak.
Setelah beberapa waktu menjalani masa tahanan weno bebas dan kembali menghirup udara di luar rimba buas itu.
Dia tak menginginkan apapun kecuali pertemuan dengan kedua anaknya.
Weno mendapati anaknya di rumah mertua,dia memelas dengan sepenuh hati agar mertuanya memberikannya izin bertemu anak-anaknya yang pada akhirnya usahanya itu membuahkan hasil.
Sementara istrinya menjadi TKI di negri tetangga.Anaknya sudah menjejaki sekolah dasar.dia seperti menuai buah yang dia tidak memupuknya.haru biru menyelimutinya,rasa terima kasih yang tidak tau di lontarkan kepada siapa.
Sejenak weno bercermin ke dalam dirinya,”siapa sebenarnya aku,kenapa aku harus terbuang,kenapa aku harus menanggung apa yang tidak aku perbuat,apa aku bukan lah manusia layaknya manusia,kenapa kau berikan aku hidup Tuhan?”
Pertanyaan ini berulang-ulang terngiang di batinnya sehingga berulang kali juga ia menarik cairan yang keluar dari hidungnya.
Weno kembali kepada orang tuanya,membantu emak menjajakan sarapan.
Pagi itu dia sedang berada di dapur bersama emak yang mempersiapkan sarapan.ia membantu memotong daun pisang dari pelepahnya yang di gunakan untuk membungkus lontong sayur buatan emaknya.ia meletakkan pisau yang di gunakannya itu di lantai sembari mengerjakan hal lain.
Saat ia berjalan ada sebuah kaleng yang tercecer di lantai yang membuatnya terpeleset dan tergeletak di lantai juga.
Tetapi dengan darah yang menggenangi dia tak sadar bagian tubuh belakangnya telah tertusuk pisau yang ia gunakan tadi.dingin menggerayangi tubuhnya.tak sanggup berkata-kata apalagi berteriak.
Emak yang datang begitu terkejut melihat Weno tergeletak tidak berdaya,segera emak meminta pertolongan ke tetangga.Weno di larikan ke rumah sakit terdekat dan di tangani oleh dokter yang masih menjalani masa magang di RS itu dan dokter-dokter seperti ini adalah dokter yang biasa menangani rakyat miskin bila berada di rumah sakit.
Jam menunjukkan pukul lima pagi,Weno sudah banyak kehabisan darah,sementara dokter yang dapat dikatakan kurang berpengalaman ini tidak dapat menjadi pahlawan bagi Weno.
Di samping emak Weno berkata “mak jangan pernah ngeluh sama Tuhan ya mak kenapa melahirkan anak seperti aku ya mak,bersyukurlah mak,karena keburukan ku bukan sepenuhnya kehendakku.”
Emak yang menjerit histeris memeluk erat kepala weno yang tidak dapat berdiri tegak lagi.
sejenak weno menuju suatu tempat entah apa namanya.
Weno merupakan sebuah propaganda fenomena tragis yang ada pada masyarakat terpinggirkan dan masih banyak peristiwa yang begitu absurd terjadi.tak semua manusia peduli,tak semua manusia dermawan,dan tak semua manusia baik adanya juga tak perlu ada yang di persalahkan karena kesalahan-kesalahan itu takkan menemukan titik temu yang hakiki,seperti kebenaran yang juga masih mencari kehakikian,kelak kematian lah yang menjawab semua.